Senin, 01 Oktober 2012

Dunia Kecil yang terabaikan …

Saya lahir pada tanggal 6 mei 1992 di Kota Daeng, Kota Makassar. Ayah saya berdarah bugis Pangkep yang kemudian dipertemukan dalam sebuah jalinan cinta dengan ibunda saya yang berdarah bugis Sinjai di Kota Makassar, kota Anging Mamiri.. yang kemudian menikah dan menetap di kota Makassar.

Source Image: minddisorders.com
Ketika saya berumur tiga tahun, ayahanda saya terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya sudah akut dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Mungkin saya tidak tahu persis kronologisnya dari awal hingga beliau meniggal cuma saya hanya bisa menuangkan apa yang saya tahu dari orang-orang yang sering bercerita kepada saya.

Masa tiga tahun setelah terlahir dari perut ibu hanya bisa membekaskan sedikit memori singkat tentang kehidupanku ketika saya masih kecil,  yang paling saya ingat diantaranya adalah setiap saya dibawa ke pinggir pantai saya sering makan pasir dan kebiasaan makan pasir itu sering terulang ketika tiba dirumah dan menggaruk tembok dan  kemudian makan pasir lagi.

Saya sering berpikir sudah berapa banyak pasir yang ada diususku ini, yah cukup ngeri untuk dipikirkan tapi cukup lucu untuk diingat. Sudahlah, toh sampai sekarang saya masih bisa membuat tulisan ini.
Terkadang saya merasa iri melihat teman-teman kecilku ketika diantar dan digendong sama ayahnya, dibelikan ini, dibelikan itu dan segala macam oleh ayahnya.

Memilih untuk kembali ke kampung halaman adalah pilihan yang terbaik buat ibu saya dan untuk saya beserta saudara-saudaraku, saya dibawa ke sebuah kampung asal ibuku di Sinjai Barat tepatnya di Tassililu tapi orang-orang lebih mengenal tempat itu dengan nama Manipi.

Di Manipi saya dibesarkan yang kemudian membuat saya lebih mengaku asli orang Sinjai yang semestinya saya asli orang Makassar. Tapi maklumlah karena memang saya dibesarkan dan dididik hingga besar yah di Sinjai, mulai perwatakan saya yang mengikuti watak orang gunung yang katanya lemah lembut, cara berbahasa saya yang lebih dominan pakai bahasa yang digunakan di Manipi meskipun kadang sedikit keseleo ke Bahasa Makassar dengan logatnya yang khas.

Nah.. Loh.. kok kenapa lari ke bahasa sih  ini ceritanya..

Kembali kemasa kecil,, sejak kami pindah ke Manipi, hampir tidak pernah lagi saya tinggal bersama ibuku. Saya tinggal bersama tante yang kebetulan satu-satunya saudara dari ibu…
Di sisi lain, Keluarga dari alhamarhum ayah hingga saat ini masih menyimpan misteri yang besar buat saya sendiri..

Ayah yang katanya sebelumnya punya 4 orang anak dari istri pertamanya, tapi mulai dari kecil hingga sekarang tak seorang pun dari mereka yang saya lihat wajah nyatanya yang katanya mereka sudah berhasil di profesi mereka masing-masing. Saya tidak berharap materi dari mereka, yang saya harap mereka mesti mengingat bahwa saya juga adalah adikmu ,,,, #~0~#


Rumah Edukasi, 1 Okt 2012


Related Posts:

  • Berawal dari PKTIR Usiaku sebagai seorang mahasiswa tak terasa makin hari makin usang, sampai hari ini masih menikmati masa-masa KKN jilid 2. Ada cerita tersendir… Read More
  • Mencari Sosok Seorang Ayah Tidak seperti biasanya, kali ini saya terbangun diwaktu yang masih menunjukkan hampir  sepertiga malam, tiba-tiba terpaku dengan satu kata yang… Read More
  • Like Mother, Like Son Berbeda dengan idiom atau istilah yang booming di masyarakat, "Like father, like son" perilaku anaknya sama dengan perilaku ayahnya. Hal ini mungkin… Read More
  • Topi Hitam dari Pak Chandra Lee *Sembilan bulan yang lalu .... Sebuah kebiasaan lama saya ketika berada dikampus dan kegiatan perkuliahan selesai biasanya saya langsung ke tempat l… Read More
  • Sepeda Hijau, Tahun Baru, dan Motor Baru Hijau Berjam-jam dihadapan layar komputer 14 Inch hanya karena ingin menelusuri jejak-jejak yang pernah saya buat di dunia maya tentang sepedaku. Ku pelo… Read More

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Terima Kasih atas kunjungan anda, Jangan lupa Follow, dan komentarnya !!!