Senin, 27 Juli 2015

Cerita dibalik Mudik dan Erupsi Gunung Raung #1


“Harapan untuk bisa berkumpul bersama keluarga di kampung menyambut hari kemenangan, justru jadinya hari raya di Kampung orang…”

Hari itu saya bergegas lebih awal dari pada biasanya berharap semuanya sesuai dengan rencana. Jadwal keberangkatan pesawat saya mestinya pukul 17.05 WIB tanggal 16 Juli 2015 melalui Bandara Internasional Juanda Surabaya, tapi saya memilih untuk berangkat pagi meniggalkan Kampung Inggris di Desa Tulungrejo Pare – Kediri.

Pembatalan tiket kereta Api, Jalan-jalan kota Surabaya sambil cari oleh-oleh adalah rencana awal sebelum ke Bandara di Sidoarjo. Tiba di Bandara pukul 13.00 WIB saya rasa waktu yang masih sangat lowong dan belum bisa melakukan check in. Saya berputar-putar mencari ATM Center dan Mushallah di lokasi bandara dan akhirnya ketemu juga.. Setelah meninggalkan Mushallah saya menuju kursi pemberangkatan penumpang. Tiba-tiba terdengar pemberitahuan bahwa Bandara Internasional Juanda ditutup untuk sementara karena debu vulkanis yang disemburkan Gunung Raung di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, menghalangi jalur penerbangan dan bandara akan kembali dibuka pada pukul 20.30 WIB yang harus membatalkan kurang lebih 140 penerbangan. Tidak ada pilihan lain kecuali sabar menunggu kabar baik dari pihak bandara. 


Penantian yang menurutku sangat melelahkan tapi juga cukup menguji kesabaran ketika pengumuman kedua diumumkan oleh pihak Bandara bahwa pada malam itu tidak ada penerbangan karena bandara belum memungkinkan untuk dibuka. Hanya dua pilihan; Rechedule (atur ulang jadwal) atau pembatalan tiket dan uang dikembalikan (refund), saya tetap bertahan menunggu pesawat sampai bisa berangkat dan saya memilih untuk reschedule ke waktu yang tercepat tapi jadinya dapat pukul 17.05 WIB lagi. 

Kemungkinan bandara akan terbuka buka pagi (17/7/15) pukul 07.00 WIB. “Yah apa boleh buat semua akan ada hikmahnya” hiburku dalam hati. Tapi bagaimana dengan kakakku yang sudah menunggu dan siap untuk menjemput kedatangan saya di Bandara? Saya tahu betapa gusarnya dia ketika melihat berita di televisi bahwa Bandara Juanda tutup ditambah kabar dari saya bahwa tidak ada kemungkinan untuk bisa kembali lebaran di kampung. Dia punya istri dan anak bayi di kampung yang menunggu kepulangannya, terlebih karena dia yang dipercaya untuk belanja bahan makanan untuk lebaran. Sungguh dilemanya dia malam itu lewat suaranya yang berat dan terbata-bata saat saya berkomunikasi suara via handphone. Namun akhirnya dia tetap bersedia menunggu saya. 

Saya berusaha menghubungi beberapa kenalan yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya. Sebagian besar diantara mereka tidak memiliki kendaraan pribadi dan jarak rumahnya dari bandara cukup jauh. 
Tidak ada pilihan lain kecuali ikut bermalam dibandara bersama penumpang lain yang juga harus menerima nasib untuk tidak lebaran di kampung halaman. Menginap di hotel bandara bukan kelas saya yang hanya pekerja serabutan di Kota Makassar, makanan di bandara pun saya katakan bukan harga makanan sekelas saya yang mungkin sekali makan di bandara sudah sebanding dengan makan enam kali di Kota Makassar. Saya sudah banyak belajar tentang kesabaran dan perjuangan hidup yang mungkin ini belum ada apa-apanya dibanding dengan apa yang sudah saya lewati membuat saya lebih tenang sambil sesekali memandangi beberapa penumpang yang harus mengalirkan air mata kesedihannya sambil duduk memegang handphone yang didekatkan di telinga kanannya.  
Duduk melantai sambil sandaran di tembok dekat sumber listrik dengan headphone yang terpasang menutupi kedua daun telinga dan mendengarkan musik adalah posisi paling nyaman saya saat itu…
Pukul 23.00 WIB Tiba-tiba notif handphone berbunyi bertanda BBM masuk dari Hariri teman peserta Temu Bidikmisi Nasional di Unhas yang juga pernah datang ke kampung Inggris dan saya fasilitasi kamar penginapan di asrama saya.

“Bang, nginap dimana? Maaf baru baca pesannya”
“Tidak ada pilihan lain kecuali nginap di bandara dek 
“Bagaimana kalau bermalam di rumahku saja di Gresik”
“Saya belum tahu jalan ke sana dek lagi pula jarak Bandara ke sana saya lihat di Google Map lumayan jauh, dan bisa menghabiskan waktu dua jam untuk tiba disana” 
“Naik damri bandara saja bang yang langsung menuju gresik, nanti saya jemput di Terminal Bunder Gresik”
“Baiklah saya coba cari dulu busnya..”

Bolak balik mencari informasi dan bertanya tentang transportasi menuju terminal Bunder Gresik dan katanya dari bandara tidak ada kendaraan yang langsung menuju Gresik mesti ke terminal Purabaya-Bungurasih dulu kemudian ambil bus jurusan Semarang atau Jurusan Perak kemudian di Perak harus menunggu angkutan umum yang menuju ke terminal Bunder..
Malam semakin larut, mata semakin sayu dan letih semakin menjadi-jadi, hanya semangat yang melekat dalam diri saya malam itu. Mengangkat koper berat berisi buku dan barang lainnya naik turun bus adalah hal yang paling melelahkan saat itu…
Jam tangan hitam dilengan kiri saya sudah menunjukkan Pukul 00.05 WIB saya tiba di Perak dan harus jalan kaki sekitar 200 meter menuju pertigaan tempat menunggu angkutan umum arah Gresik tapi setelah bertanya dengan orang yang saya temui tidak jauh dari tempat itu katanya sudah jarang ada angkutan umum untuk malam selarut ini bahkan tidak ada lagi karena besok sudah lebaran.

Saya mencoba untuk menghubungi Hariri dan dia bersedia untuk menjemput ditempat saya menuggu, hampir satu jam menunggu di tempat yang sepi itu akhirnya Hariri tiba bersama kakaknya dengan menggunakan mobil Terrios. Akhirnya bisa melepas lelah juga .. cepatnya mobil dan lurusnya jalur Pantura (Pantai Utara) menuju Gresik membuat saya tertidur dan terbangun setelah mobil tiba tepat di depan rumah Hariri. 

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Terima Kasih atas kunjungan anda, Jangan lupa Follow, dan komentarnya !!!