Terlalu lama
saya mendekam dalam zona nyaman selama ini, setiap hari dimanjakan dengan
ruangan yang ber-AC dan fasilitas internet yang sangat memadai disebuah kantor.
Namun kali ini saya betul-betul bisa menikmati petualangan saya yang terbilang
cukup menantang, kata teman saya.
Untuk pertama
kalinya menikmati angin malam Kota Palopo disebuah Kafe untuk mengadakan sebuah
breafing persiapan liputan ke Daerah-daerah yang diadakan oleh Penelitian
dan Pengembangan (Litbang) Kompas dalam rangka "Survei Pemilu Legislatif 2014", liputan ini sebagai bahan pemberitaan/artikel hasil hitung cepat (Quick Count) di Harian Kompas, Kompas TV, dan Kompas.com. Breafing berlangsung dari sejak jam sembilan malam hingga jam satu lebih tigapuluh menit dinihari dan ditetapkan saya bertugas dilokasi terpencil di Bumi Massenrempulu - Enrekang. Kemudian dilanjutkan
dengan acara makan malam bersama disebuah warung makan. Setelah itu kembali
memikirkan tempat di mana kami akan melepas lelah setelah menjalani perjalanan
jauh dari Kota Makassar selama kurang lebih sembilan jam dan dilanjutkan dengan
breafing yang cukup membuat badan terasa letih.
Setelah berembuk
bersama tim, akhirnya diputuskan untuk menyewa kamar disebuah Wisma di Kota
Palopo, Wisma Haifa yang terletak di Jln. Jend. Sudirman. Waktu sudah menunjukkan jam dua dinihari buat kami merasa sangat lelah dan
badan sudah menuntut untuk segara diistirahatkan karena besok paginya harus
berangkat ke Lokasi tugas masing-masing.
Sebelum ke
terminal Palopo saya menyempatkan diri untuk isi ulang pulsa sebagai persiapan
komunikasi di lokasi, tulis nomor handphone,
pulsa dua puluh Ribu, bayar, kemudian tinggalkan kios tanpa memastikan pulsanya sudah
terkirim atau belum. Saya baru tersadar setelah berada di atas mobil kalau pulsa
yang saya bayar tidak masuk.. ya sudahlah.. sudah terlanjur..ikhlaskan.
Memulai
perjalanan dari Kota Palopo tepat jam delapan dan tiba di sebuah daerah yang
sangat terkenal dengan ciri khas budayanya di Sulawesi Selatan. Yah Tana Toraja
yang memiliki jejeran rumah adat Tongkonan sebagai ciri khasnya. Saya tiba di
Kota Makale jam sebelas lebih tiga puluh menit yang kemudian mengharuskan saya mencari mobil tumpangan lain yang
bisa melanjutkan perjalanan saya menuju Kabupaten Enrekang. Sekitar satu setangah jam
lama perjalanan sejak dari terminal Makale ke Kabupaten Enrekang mengharuskan
saya untuk turun dan naik lagi ke mobil yang akan mengantarkan saya menuju
pasar Cakke, salah satu nama tempat di Enrekang.
Tiba di depan
Pasar Cakke saya turun dan bertanya jalan menuju Kecamatan Malua dan harus naik
kendaraan apa untuk kesana. Ternyata ada dua alternatif, naik mobil angkutan
umum yang menuju Baraka atau naik Ojek. Untuk sampai ke tempat tujuan di sebuah
dusun yang bernama Batubila Desa Bonto Kecamatan Kecamatan Malua, masih harus
menempuh perjalanan sekitar 20 Km dari pasar Cakke sedangkan konfirmator dari
Kompas pusat setiap saat menelepon dimana keberadaan saya.
Mengejar waktu interview
yang seharusnya dimulai jam sembilan pagi pagi hingga jam satu siang rasanya sudah tidak
mungkin, sudah sangat terlambat, saya memutuskan untuk naik ojek saja dibanding
harus naik mobil tumpangan yang saya pastikan akan memakan waktu yang lama ke
tempat tujuan. Saya menghampiri seorang warga kemudian sedikit bertanya tentang
letak tempat tujuan saya ternyata dia tidak begitu tahu tempat tersebut tapi
dia menawarkan saya menumpangi ojek milik anaknya.
Pesona alam
Enrekang ternyata tidak hanya memiliki pemandangan gunung nona yang memukau seperti
yang saya kunjungi di tiga tahun sebelumnya, perjalanan dari desa Cakke menuju
Baraka membuat saya cukup menikmati keindahan alam tebing Bambapuang yang masih
satu kecamatan dengan Cakke yaitu Kecamatan Anggeraja, salah satu tebing yang katanya
selalu jadi incaran para pemanjat tebing tanah air, kata tukang ojek yang mengantar
saya yang juga kebetulan masih berstatus sebagai salah seorang mahasiswa dua
digit di universitas swasta di Kota Makassar.
Sumber: http://enrekang.com/?p=476 |
Sumber |
Saya diantar
oleh seorang pemuda yang memakai motor Thunder merah untuk menemukan rumahnya.
Tiba dirumanya tapi yang saya temui adalah suaminya yang sedang bermain bersama
anaknya di kolong rumah. ”Assalamu’alaikum pak, saya Yudi dari Kompas.. ada Ibu
Ratna? “ Tanyaku dengan sopan. “Oh iya dik, beliau sedang mengajar ngaji
sekarang..tunggu sebentar” sambil berbincang tentang maksud kedantangan saya
jauh-jauh ke Desa Bonto tidak lama kemudian Ibu Ratna datang dan langsung
berjabat tangan dan perkenalkan diri kalau saya dari Tim survei Kompas jauh-jauh
ke tempatnya hanya ingin bertemu beliau.
Setelah wawancara singkat bersama Bu Ratna akhirnya saya minta pamit dan bertanya tentang dimana letak Rumah Kepala Desa Bonto, Ternyata tempatnya berada di kelurahan sebelah Desa Bonto yang jaraknya agak jauh dari rumah bu Ratna. Untungnya suami Bu Ratna punya motor dan bersedia dengan senanghati mengantarkan saya ke rumah Pak Muhaning Kepala Desa Bonto. Saya harus menemui beliau untuk memberitahukan maksud dan tujuan kedantangan saya di Desanya juga untuk menanyakan dimana saya bisa menginap. “Sebenarnya ada penginapan tapi letaknya sangat jauh dari sini sedangkan adik tidak punya kendaraan, Bagaimana kalau menginap saja disini yang penting mau tidur ditempat sederhana seperti ini”. Katanya dengan ekspresi senang.. “Oh iya pak terima kasih banyak, maaf merepotkan bapak” balas ku dengan senyum. Sebelumnya saya sudah berencana kalau tidak bisa menumpang di rumah Kepala Desa, saya ke rumah Kepala Dusun lagi atau kalau perlu sampai ke rumah Pak RT yang penting bisa dapat tumpangan menginap dulu. Begitulah cara saya survive ketika berada di kampung orang lain sendiri, tidak punya kendaraan dan tidak punya siapa-siapa. Saya selalu yakin pada diri saya sendiri.. ketika kita bisa berbuat baik, sopan dan santun kepada orang lain, maka orang lain akan memperlakukan kita dengan hal yang sama. Bagi saya ini bukan lagi tantangan, tapi petualangan yang menyenangkan..
![]() |
Bersama Bu Ratna |
*Bumi Massenrempulu, 8 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar